Sabtu, 11 Juli 2009

HIT COUNTER

web counter

Rabu, 08 Juli 2009

KRISIS HIPERGLIKEMIK PADA DM

PENATALAKSANAAN KRISIS HIPERGLIKEMIK

PADA DIABETES MELITUS
Alwi Shahab
Subbagian Endokrinologi Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Unsri /RSMH Palembang




Pendahuluan :

Krisis Hiperglikemik yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik (KHH) merupakan komplikasi akut yang serius pada penderita diabetes melitus. Kedaruratan ini masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas penderita diabetes melitus, walaupun telah dicapai kemajuan dalam pemahaman tentang patogenesis , diagnosis dan penatalaksanaannya. Angka kejadian Ketoasidosis Diabetik diperkirakan berkisar antara 4,6 sampai 8 episode per 1000 pasien diabetes pertahun. Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di Rumah Sakit. Pengobatan penderita Ketoasidosis Diabetik dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik akan meningkatkan biaya perawatan penderita. Angka kematian penderita KAD kurang dari 5% pada pusat2 perawatan yang berpengalaman, sedangkan angka kematian penderita KHH masih tinggi yaitu sekitar 15%. Prognosis keduanya semakin buruk dengan semakin bertambahnya usia dan dengan adanya penurunan kesadaran dan hipotensi.

Definisi

Ketoasidosis Diabetik merupakan kedaruratan pada penderita diabetes melitus yang ditandai dengan adanya hiperglikemi, ketonemia dan asidemia. Istilah Koma Hiperosmolar Non Ketotik diganti dengan istilah Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik karena beberapa alasan, antara lain :

1. Penurunan kesadaran kadang-kadang tidak sampai menjadi koma

2. Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik dapat pula disertai dengan ketosis ringan yang dapat dideteksi dengan metode nitroprusside.

Beratnya keadaan hiperglikemi pada Ketoasidosis Diabetik bervariasi dan tidak menentukan beratnya ketoasidosis. Perubahan status mental / kesadaran lebih banyak ditentukan oleh osmolalitas serum.

Patogenesis :

Kelainan yang mendasari kedua keadaan ini adalah adanya penurunan kerja insulin yang disertai dengan peningkatan sekresi counterregulatory hormones seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan Growth Hormone. Perubahan keseimbangan hormonal ini akan menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepar dan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer, yang akan memperberat hiperglikemi serta perubahan2 osmolalitas cairan ekstraseluler. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan counter-regulatory hormones pada KAD juga akan merangsang pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak kedalam sirkulasi darah serta peningkatan oksidasi asam lemak hati menjadi ketone bodies (benda2 keton) yaitu b hydroxybutyrate dan asam asetoasetat yang akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik.

Sebaliknya pada KHH, kadar insulin tidak mencukupi untuk memfasilitasi pemakaian glukosa oleh jaringan2 perifer namun masih cukup untuk mencegah lipolisis dan terjadinya ketogenesis (pembentukan benda2 keton) sehingga jarang terjadi asidosis metabolik. Baik KAD maupun KHH disertai dengan glikosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit.

Faktor pencetus :

Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling utama pada KAD dan KHH. Disamping itu pemberian insulin dengan dosis yang tidak adekuat, juga merupakan faktor pencetus untuk terjadinya KAD pada penderita DM tipe 1. Faktor pencetus lain adalah CVD, penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli paru dan infark miokard. Berbagai jenis obat dapat pula mengganggu metabolisme karbohidrat, antara lain : kortikosteroid, pentamidine, obat-obat simpatomimetik, penghambat a dan b adrenergik serta diuretik , sehingga dapat pula mencetuskan KAD dan KHH terutama pada penderita usia lanjut. Disamping itu pada penderita DM tipe 1 onset baru biasanya terdiagnosis pertama kali karena KAD. KHH juga dapat terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut yang tidak menyadari kondisi hiperglikeminya dan kurang mendapat asupan cairan yang cukup pada saat diperlukan. Pada penderita DM tipe 1 yang disertai problem psikologik sehingga terjadi gangguan selera makan dapat pula menjadi faktor pemicu KAD yang berulang.

Diagnosis :

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :

Proses terjadinya KHH biasanya mulai terjadi dalam beberapa hari sementara timbulnya episode KAD terjadi secara mendadak. Walaupun gejala2 dari DM yang tidak terkontrol baik dapat terjadi dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas dari KAD biasanya terjadi dalam waktu yang singkat (kurang dari 24 jam).

Baik pada KAD maupun KHH , dapat ditemui gambaran klinis yang klasik meliputi :

- poliuri, polidipsi dan polifagi

- penurunan BB dalam waktu singkat

- mual muntah

- nyeri perut

- dehidrasi

- badan lemas

- penglihatan kabur

- gangguan kesadaran mulai dari apatis sampai koma.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :

- Turgor yang kurang, bibir dan kulit kering

- Pernafasan Kussmaull ( pada KAD )

- Takhikardi

- Hipotensi

- Syok hipovolemik

- Gangguan kesadaran dari apatis sampai koma

Lebih dari 25% penderita KAD mengalami muntah yang dapat berwarna hitam kecoklatan yang pada endoskopi terlihat adanya gastiris erosive karena stress ulcer.

Perubahan status mental dapat bervariasi mulai dari sadar penuh pada kasus ringan sampai letargi atau koma pada kasus yang berat. Walaupun infeksi merupakan faktor pemicu utama terjadinya KAD atau KHH, pada pengukuran suhu tubuh dapat menunjukkan suhu tubuh yang normal (normotermik) atau bahkan hipotermik, terutama karena adanya vasodilatasi perifer. Hipotensi merupakan petanda prognosis yang jelek pada kedua komplikasi ini.

Pemeriksaan laboratorium :

Pemeriksaan laboratorium pertama yang harus dilakukan pada pasien2 yang dicurigai KAD atau KHH meliputi :

- Pemeriksaan kadar glukosa darah plasma, ureum, kreatinin dan keton serum, elektrolit, osmolalitas, urinalisis, keton urin, analisa gas darah, darah rutin lengkap dan Elektrokardiografi

- Biakan urin, darah dan usap tenggorok dilakukan untuk pertimbangan pemberian antibiotika yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi.

- Pemeriksaan HbA1c (A1c) bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut dari krisis hiperglikemi ini terjadi akibat kulminasi dari proses perjalanan penyakit DM yang tidak terdiagnosis sebelumnya atau tidak terkontrol baik atau murni merupakan episode akut dari DM yang selama ini terkontrol baik.

Kebanyakan pada pasien dengan krisis hiperglikemik ditemukan adanya lekositosis. Kadar natrium serum biasanya mengalami penurunan karena perubahan aliran air dan elektrolit dari ruang intravaskuler menuju ekstraseluler akibat adanya hiperglikemi. Kadar kalium serum dapat mengalami peningkatan karena perpindahan kalium ekstraseluler akibat defisiensi insulin, hipertonisitas dan asidemia. Penderita yang pada saat pertama kali datang dengan kadar kalium yang normal rendah atau rendah, sebenarnya sudah menunjukkan defisiensi kalium yang berat sehingga memerlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan gangguan fungsi jantung sehingga perlu diberikan suplemen kalium yang cukup untuk mencegah terjadinya aritmia jantung. Terjadinya stupor atau koma pada penderita DM tanpa adanya kelainan osmolalitas perlu segera dipertimbangkan adanya penyebab lain dari perubahan status mental ini. Osmolalitas efektif dapat dihitung dengan rumus :

2 [Na+(mEq/l)] + glucose(mg/dl)/18

Tabel 1 : Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik


Ketoasidosis Diabetik

Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik




Glukosa Plasma (mg/dl)

> 250

> 250

> 250

> 600

pH arteri

7,25-7,30

7,00-<7,24

<>

> 7,30

Bikarbonat Serum (mEq/l)

15-18

10-<15

<>

> 15

Keton urin

Positif

Positif

Positif

Sedikit/negatif

Keton Serum

Positif

Positif

Positif

Sedikit/negatif

Osmolalitas serum efektif (mOsm/kg)

Bervariasi

Bervariasi

Bervariasi

> 320

Anion gap

> 10

> 12

>12

<12

Sensorium

Sadar

Apatis

Stupor/Coma

Stupor/Coma






Diagnosis banding :

Tidak semua pasien dengan ketoasidosis disebabkan karena DM. Ketosis akibat kelaparan dan alcoholic ketoacidosis dapat dibedakan dengan KAD dari anamnesis riwayat menderita DM dan pemeriksaan kadar glukosa plasma yang tidak terlalu tinggi (jarang melebihi 250 mg/dl) bahkan sampai hipoglikemi. Pada ketosis akibat starvasi (kelaparan yang berat), kadar bikarbonat serum biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.

Penatalaksanaan :

Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :

- Koreksi terhadap :

o Dehidrasi

o Hiperglikemi

o Gangguan keseimbangan elektrolit

- Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus

- Follow up yang ketat

Terapi cairan :

Pasien dewasa :

Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil dan dapat menerima suplemen Kalium oral.

Pasien pediatrik (<>

Terapi initial/awal ditujukan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta perfusi ginjal. Kebutuhan cairan harus diperhitungkan untuk mencegah timbulnya edema serebri akibat pemberian cairan yang terlalu cepat dan berlebihan. Cairan yang diberikan pada 1 jam pertama berupa cairan isotonik (0,9% NaCl) dengan kecepatan 10-20 ml/kgBB/jam. Pada pasien yang mengalami dehidrasi berat, pemberian cairan perlu diulang, namun tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam. Terapi cairan lanjutan diperhitungkan untuk mengganti kekurangan cairan selama 48 jam. Umumnya pemberian cairan 1,5 kali selama 24 jam berupa cairan 0,45% - 9% NaCl dapat menurunkan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kgBB/jam. Setelah fungsi ginjal membaik dengan adanya diuresis, diberikan infus kalium 20-40 mEq/l (2/3 KCl atau K asetat dan 1/3 K fosfat). Setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan sebaiknya diganti dengan 5% glukosa dan 0,45% - 0,75% NaCl. Status mental sebaiknya dimonitor secara ketat untuk mencegah agar tidak terjadi kelebihan cairan iatrogenik yang dapat menyebabkan edema serebri.

Terapi Insulin :

Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ <>

Pada pasien pediatric, diberikan infus RI berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.

Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6 UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi. Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi.

Pengukuran langsung terhadap b hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama pengobatan, b-OHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena.

Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri. Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.

Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.

Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau intramuskuler.

Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :

- Penurunan kadar glukosa plasma <>

- Bicarbonat serum ³ 18 mEq/l

- pH darah vena > 7,3

Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa darah ³ 300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan jadwal dosis multiple menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma.

Kalium :

Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas normal (4 – 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat (< style=""> hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l, untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan.

Bikarbonat :

Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 – 7.1, yang diberi terapi bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH darah < style=""> Namun pada penderita dengan asidosis yang berat dimana pH darah < style=""> menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan 50 mmol natrium bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi kalium dalam cairan infus hendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya, pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih < style=""> 155 mEq/l.

Fosfat :

Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi prospektif tidak menunjukkan adanya manfaat pemberian fosfat pada penderita KAD. Namun untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan kadar fosfat serum < style="">

Dibawah ini dicantumkan contoh algoritma penatalaksanaan KAD dan KHH pada orang dewasa menurut rekomendasi American Diabetes Association.

Komplikasi :

Komplikasi yang paling sering dari KAD dan KHH adalah :

- Hipoglikemi karena dosis insulin yang berlebihan

- Hipokalemi akibat pemberian insulin dan pengobatan asidosis dengan bikarbonat

- Hiperglikemi akibat penghentian terapi insulin intravena setelah penyembuhan tanpa dilanjutkan dengan insulin subkutan

Pasien yang sudah mengalami pemulihan dari KAD dapat mengalami hiperkhloremi karena penggunaan cairan dan penggantian elektrolit yang berlebihan. Kelainan biokimia ini bersifat ringan dan tidak bermakna secara klinis kecuali pada kasus2 gagal ginjal akut atau oliguria berat. Edema serebri merupakan komplikasi KAD yang bersifat fatal, yang secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lethargy dan sakit kepala. Defisit neurologik dapat terjadi secara cepat, disertai kejang, inkontinensia urin, perubahan refleks pupil , bradikardia dan gagal nafas. Progresivitas gejala defisit neurologik ini terjadi akibat adanya herniasi batang otak. Apabila sudah terjadi perubahan2 perilaku, maka angka kematiannya akan semakin tinggi (dapat mencapai 70%), dan hanya 7-14% kasus yang dapat mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa permanen. Mekanisme terjadinya edema serebri sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, namun diduga disebabkan karena perubahan tekanan osmotik akibat perpindahan cairan yang cepat kedalam sistem syaraf pusat karena penurunan osmolalitas plasma yang terlalu cepat selama pengobatan KAD atau KHH.

Prinsip pengobatan edema serebri adalah dengan menurunkan tekanan intrakranial, yaitu dengan pemberian Mannitol, diberikan dalam 5 sampai 10 menit setelah ditemukan gejala awal defisit neurologik dengan dosis 1 - 2 g/kg selama 15 menit. Pemberian deksametazon dan diuretik masih kontroversi.

Pencegahan edema serebri meliputi :

- Pemberian cairan dan sodium bertahap pada pasien hiperosmolar

- Hindari pemberian bikarbonat kecuali sangat diperlukan

- Tambahkan infus dextrose bila GD sudah mencapai 250 mg/dL

Pencegahan krisis hiperglikemik :

Kebanyakan kasus KAD dan KHH dapat dicegah melalui akses yang lebih baik terhadap pusat pelayanan kesehatan serta edukasi yang baik dan komunikasi yang efektif dengan perawat kesehatan. Penghentian insulin karena alasan keuangan dan kesulitan mendapatkan insulin merupakan faktor pencetus utama terjadinya KAD pada pasien-pasien DM tipe 1 yang tinggal didaerah terpencil. Oleh karena itu diperlukan bantuan pemerintah untuk penyediaan insulin di Puskesmas2 yang merawat pasien-pasien DM khususnya DM tipe 1. Hal yang paling penting adalah bahwa pasien hendaklah dinasihati jangan menghentikan insulin dan segera memeriksakan diri kedokter apabila mengalami sakit. Keberhasilan penatalaksanaan hari sakit (sick day management) tergantung dari keterlibatan anggota keluarga. Pasien dan keluarganya harus bisa melakukan pengukuran kadar glukosa darah, memeriksa keton urin, penyuntikan insulin, mengukur suhu tubuh, memeriksa denyut nadi dan frekuensi pernafasan, menimbang berat badan dan melakukan komunikasi dengan dokter yang merawat.

Simpulan :

Krisis hiperglikemik yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik (KHH) merupakan komplikasi akut yang serius pada penderita diabetes melitus. Berbagai keadaan dapat mencetuskan terjadinya krisis hiperglikemik dimana infeksi merupakan faktor pencetus utama. Prinsip penatalaksanaan krisis hiperglikemi meliputi koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemi dan gangguan keseimbangan elektrolit, serta pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Sebaiknya penderita dirawat di ruang rawat intensif dengan follow up yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi akibat penyakitnya maupun efek samping akibat penatalaksanaannya. Hal yang paling penting adalah pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya krisis hiperglikemik dengan edukasi terhadap pasien dan keluarga tentang pengenalan dini tanda-tanda awal krisis hiperglikemik.


Daftar Pustaka :

1. Kitabchi AE, et.al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes, Diab Care. 2001;24(1):131-153.

2. Jean-Louis Chiasson, et. al.Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ.2003; 168 (7):859-866.

3. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Diabetes, Diab Care. 2004; 27(Suppl 1):94-102.

4. Kitabchi AE et.al. Thirty Years of Personal Experience in Hyperglycemic Crises: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State, J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93: 1541–1552.

5. Fowler M. Hyperglycemic Crisis in Adults: Pathophysiology, Presentation, Pitfalls, and Prevention. Clin Diab.2009; 27(1):19-23.

Selasa, 07 Juli 2009

RAHASIA SEL ENDOTEL

RAHASIA DIBALIK SELAPIS SEL ENDOTEL

PERANNYA DALAM PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS

Alwi Shahab

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FK Unsri Palembang

Pendahuluan

Sel-sel endotel yang melapisi dinding bagian dalam pembuluh darah, secara strategis berada diantara plasma serta sel2 darah dan otot polos pembuluh darah. Pada individu dengan berat badan 70 kg, kalau saja dapat dibentangkan, maka permukaan endotel secara keseluruhan diperkirakan mencapai luas lebih dari 700 m2 dengan berat sekitar 1 – 1,5 kg. Pada saat ditemukan oleh von Recklinghausen pada awal abad ke 19, endotel hanya dianggap sebagai pemisah fisik antara darah dan dinding pembuluh darah. Namun sejak peraih hadiah Nobel, Furchgott dan Zawadzki pada tahun 1970 menemukan zat-zat vasoreaktif yang dihasilkan oleh sel-sel endotel, maka endotel dikenal sebagai pengatur utama keseimbangan pembuluh darah. Keutuhan endotel sangat penting dalam mempertahankan kelancaran aliran darah, karena endotel melepaskan faktor2 humoral yang dapat mengendalikan relaksasi dan kontraksi, trombogenesis dan fibrinolisis serta aktivasi dan inhibisi platelet. Jadi, endotel berperan penting sebagai organ endokrin dalam mengendalikan tekanan darah, kelancaran aliran darah dan keutuhan pembuluh darah. Keutuhan fungsi sel endotel dapat mengalami gangguan akibat pengaruh berbagai faktor seperti hiperglikemi, hiperkolesterolemi, zat-zat toksik termasuk radikal2 bebas, obat-obatan, infeksi dan proses-proses imunologik. Selanjutnya gangguan fungsi endotel dapat menimbulkan kelainan dan penyakit kardiovaskular seperti aterosklerosis, hipertensi dan payah jantung, sehingga dapat menimbulkan hipoperfusi, oklusi vaskular dan kerusakan organ.

Fungsi sel endotel normal

Sel endotel melapisi bagian dalam lumen dari pembuluh darah diseluruh tubuh dan berperan sebagai penghubung antara sirkulasi darah dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Disamping berperan sebagai penyekat fisik antara darah dan jaringan, sel endotel memfasilitasi berbagai fungsi yang kompleks dari sel otot polos pembuluh darah dan sel-sel didalam kompartemen darah.

Gambar 1. Mikroanatomi dari pembuluh darah kapiler.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel endotel memegang peran penting dalam proses homeostasis yang terjadi melalui integrasi berbagai mediator kimiawi. Sistem ini mempunyai efek baik terhadap sel-sel otot polos pembuluh darah maupun sel-sel darah sehingga dapat menimbulkan berbagai perubahan antara lain :

  1. Vasodilatasi atau vasokonstriksi untuk mengatur kebutuhan suplai darah bagi seluruh organ tubuh manusia.
  2. Pertumbuhan dan atau perubahan-perubahan karakteristik penotif dari sel-sel otot polos pembuluh darah.
  3. Perubahan-perubahan proinflamasi atau antiinflamasi.
  4. Mempertahankan kekentalan darah dan mencegah perdarahan.

Tabel 1. Fungsi sel endotel

Target fungsionil dari sel endotel

Fungsi spesifik

Lumen

Vasokonstriksi

Vasodilatasi


Endothelin

Angiotensin II

ET-1

Thromboxane A2

PGH2

NO (Nitrat Oksida)

Bradykinin

Hyperpolarizing factor

Pertumbuhan

Stimulasi

Inhibisi


Platelet derived growth factor (PDGF)

Fibroblast Growth Factor

IGF-1

Endothelin

Angiotensin II

NO (Nitrat Oksida)

PGI2

TGF

Inflamasi

Proinflamasi

Antiinflamasi


Adhesion molecules :

ELAM, VCAM, ICAM


Hemostasis

Protrombotik

Antitrombotik


PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1)

Prostacyclin

TPA (Tissue Plasminogen Activator)

1. Nitrat oksida : mediator kunci dari sel endotel.

Selama beberapa dekade , telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak hanya berperan dalam mengontrol tonus vasomotor melainkan juga berperan dalam homeostasis pembuluh darah dan syaraf serta proses imunologik. Nitrat oksida endogen diproduksi melalui perubahan asam amino L-arginine menjadi L-citrulline oleh enzim NO-synthase (NOS). Saat ini beberapa isoform dari NOS telah berhasil dipurifikasi dan diklon sebagai : NOS-type I (yang diisolasi dari otak= neuronal NOS) dan NOS-type III (yang diisolasi dari sel endotel= endothelial NOS) yang disebut juga constitutive-NOS (cNOS). Kedua isoform ini diatur oleh Ca+2-calmodulin dan NADPH, flavin adenine dinucleotide/mononucleotide (FAD/FMN), serta tetrahydrobiopterin (HB4) sebagai kofaktor. Neuronal-NOS (NOS type I) berperan penting dalam proses transmisi syaraf, kontrol homeostasis pembuluh darah dan dalam proses pembelajaran dan memori.

Didalam sistem syaraf tepi, NOS berhubungan dengan jalur syaraf nonadrenergic noncholinergic (NANC). Endothelial-NOS (NOS type III) berperan penting dalam mengontrol tonus pembuluh darah sebagai respons terhadap berbagai rangsangan, seperti rangsangan mekanik (shear stress), receptor dependent (asetil kholin) dan reseptor independen (calcium ionophore). Nitrat Oksida yang dihasilkan oleh NOS type III didalam endotel akan berdiffusi kedalam otot polos pembuluh darah yang akan mengaktifkan enzim guanylate cyclase. Bersamaan dengan peningkatan cyclic GMP, akan terjadi relaksasi dari otot polos pembuluh darah. Jadi hasil akhir dari peningkatan Nitrat Oksida akan terjadi vasodilatasi.

Gambar 2. Sel endotel sebagai regulator dari sel-sel otot polos pembuluh darah

Sel endotel memproduksi nitrat oksida (NO) yang akan berdiffusi kedalam sel-sel otot polos pembulah darah dan mengaktivasi enzim guanylate cyclase yang memproduksi cyclic GMP. Cyclic GMP akan merangsang relaksasi otot sehingga akan terjadi vasodilatasi. NOS type III juga berperan dalam pencegahan aggregasi platelet yang abnormal. NOS type II dan IV (yang diisolasi dari makrofag) bersifat independen terhadap Ca++-calmodulin dan disebut juga "inducible-NOS", karena aktivasinya hanya terjadi pada saat makrofag menimbulkan efek sitotoksik sebagai respons terhadap sitokin (misal dalam keadaan sepsis).

2. Angiotensin II (ANG-II).

Sel endotel juga memproduksi mediator-mediator yang merangsang vasokonstriksi, yaitu endothelin, prostaglandin dan angiotensin II serta mengatur tonus pembuluh darah dengan cara mempertahankan keseimbangan antara vasodilatasi (produksi NO) dan vasokonstriksi (pembentukan angiotensin II), Angiotensin II diproduksi oleh sel endotel pada jaringan lokal. Enzim yang mengatur produksi angiotensin II adalah angiotensin converting enzyme (ACE). Enzim ini bersifat proteolitik, disintesis oleh sel endotel , diekspresikan pada permukaan sel endotel dan mempunyai aktivitas dibawah pengaruh angiotensin I. Angiotensin I diproduksi melalui pemecahan dari suatu makromolekul prekursor (angiotensinogen) dibawah pengaruh renin, suatu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh ginjal. Angiotensin II berikatan dan mengatur tonus otot polos pembuluh darah melalui reseptor angiotensin yang spesifik. Tergantung dari reseptor yang diaktivasi, ANG-II dapat memberi efek regulasi terhadap berbagai aktivitas fungsional otot polos pembuluh darah, termasuk kontraksi (vasokonstriksi), pertumbuhan, proliferasi dan differensiasi.

Secara keseluruhan , kerja dari ANG-II berlawanan dengan kerja Nitrat Oksida (NO). Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa NO merupakan produk dari enzim NOS sebagai respons terhadap pengaruh aktivator dan inhibitor spesifik. Produksi NOS juga diatur oleh konsentrasi lokal dari bradykinin. Bradykinin merupakan suatu peptida yang bekerja dengan reseptor b2 pada permukaan membran sel endotel untuk meningkatkan produksi NO melalui aktivasi NOS. Konsentrasi lokal dari bradykinin diatur oleh aktivitas ACE, dimana ACE memecah bradykinin menjadi peptida yang inaktif. Kadar ACE yang tinggi akan menghambat aktivitas NO , tidak hanya karena peningkatan produksi ANG-II, tetapi juga karena penurunan konsentrasi bradykinin. Suatu model pengaturan tonus pembuluh darah ( dan regulasi lumen pembuluh darah dimana ACE memegang peranan penting, telah dikemukakan dalam beberapa tahun terakhir (gambar 3) Model ini memprediksi aktivitas ACE yang tinggi akan menyebabkan vasokonstriksi karena menyebabkan penurunan produksi NO dan peningkatan produksi ANG-II. Keadaan ini akan menyebabkan kontraksi sel-sel otot polos pembuluh darah dan pengecilan diameter lumen pembuluh darah. Aktivitas enzim ini akan diikuti dengan peningkatan pertumbuhan , proliferasi dan differensiasi sel otot polos pembuluh darah dan penurunan kerja anti proliferatif dari NO serta penurunan proses fibrinolisis dan peningkatan aggregasi platelet.

Gambar 3. Peranan ACE dalam mengatur fungsi sel endotel

Membran sel endotel mengikat ACE yang bila mengalami overaktif atau over ekspresi, akan memproduksi sejumlah besar ANG-II. ANG-II bekerja langsung pada sel-sel otot polos pembuluh darah dengan cara menempel pada reseptor spesifik yang terdapat di membran sel. Aktivasi ACE juga akan menyebabkan katabolisme bradikinin yang lebih cepat.

4. Sel Endotel sebagai regulator hemostasis.

Sel endotel mempunyai peran penting dalam mempertahankan kekentalan darah dan mengembalikan integritas dinding pembuluh darah bila terjadi cedera untuk mencegah perdarahan. Secara garis besar, sistem yang mempertahankan homeostasis pembuluh darah meliputi :

a. Lumen pembuluh darah (efek vasokonstriktor dan

atau vasodilator)

b. Platelet

c. Koagulasi

d. Fibrinolisis

Sel endotel berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan antara sistem koagulasi dan fibrinolitik (gambar 4) Koagulasi terjadi karena terbentuknya trombin yang aktif. Trombin merupakan suatu enzim proteolitik yang akan merubah fibrinogen menjadi fibrin dengan cara melepaskan fibrinopeptida A dan B. Fibrin kemudian akan mengalami polimerisasi dan cross-link membentuk gumpalan fibrin yang stabil (stable clot). Gumpalan fibrin selanjutnya akan mengalami pemecahan akibat kerja enzim proteolitik lain, yaitu plasmin, yang merupakan efektor utama dalam sistem fibrinolitik. Plasmin terbentuk dari plasminogen melalui kerja beberapa aktivator spesifik. Secara fisiologik (dan farmakologik) aktivator penting dalam proses perubahan plasminogen menjadi plasmin adalah tissue plasminogen activator (t-PA). Peptida ini mempunyai peranan penting dalam proses pemecahan gumpalan fibrin dan mempertahankan keutuhan lumen pembuluh darah. Zat ini telah banyak digunakan dalam pengobatan berbagai keadaan dimana terjadi oklusi akut yang mengancam kehidupan seperti infark miokard, stroke dan emboli paru masif. Beberapa aktivator positif dan negatif mengatur aktivitas t-PA. Secara fisiologik regulator utama dari t-PA adalah plasminogen activator inhibitor (PAI). Saat ini terdapat 4 jenis PAI, dimana PAI-1 berperan paling menonjol.

Gambar 4. Koagulasi dan fibrinolisis yang diatur oleh sel-sel endotel.

5. Sel endotel sebagai mediator pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah dan proses inflamasi.

Sel endotel juga berperan penting dalam pertumbuhan dan differensiasi sel otot polos pembuluh darah dengan cara melepaskan berbagai promotor atau inhibitor pertumbuhan dan differensiasi, yang memberi pengaruh terhadap terjadinya remodelling pembuluh darah. Sejumlah besar peptida telah diketahui berperan sebagai messenger utama terhadap sinyal-sinyal pertumbuhan seperti insulin-like growth factor 1 (IGF-1), PGF, basic fibroblast growth factor (bFGF), dll. Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa rangsangan pertumbuhan otot polos pembuluh darah dimediasi oleh produksi lokal dari PGF dan ANG-II. Sebagai antagonis utama dari kerja ANG-II dalam merangsang pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah adalah NO dan prostacyclin (PGI2).

Sel endotel juga terlibat dalam produksi berbagai molekul yang berperan dalam proses inflamasi, yaitu antara lain leukocyte adhesion molecule (LAM), intracellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular cell adhesion molecule (VCAM). Molekul-molekul ini disebut sebagai "molekul adhesi" dan berfungsi mengaktifkan sel-sel yang terlibat dalam reaksi inflamasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam proses aterosklerosis terjadi peningkatan kadar pertanda-pertanda inflamasi (acute phase proteins) didalam darah.

Disfungsi endotel

Disfungsi endotel adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ketidakseimbangan fungsi faktor2 relaksasi dan faktor2 kontraksi yang di produksi oleh endotel. Disfungsi endotel dapat merupakan penyebab atau sebagai akibat penyakit pembuluh darah. Disfungsi endotel mengawali terjadinya perubahan2 struktur pembuluh darah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan endotel yang utuh dalam memproteksi pembuluh darah. Sementara beberapa pembuluh darah rentan untuk mengalami disfungsi endotel dan aterosklerosis, seperti arteri koroner epikardial, arteri2 besar seperti aorta atau arteri iliaca, yang lain seperti arteri mammaria interna dan arteri brachialis, terlindung terhadap disfungsi endotel. Adanya perbedaan ini mungkin berhubungan dengan perubahan selektif akibat pengaruh tekanan nadi atau perubahan fungsi sel endotel itu sendiri pada daerah2 yang berbeda sepanjang jalur pembuluh darah.

Perubahan2 morfologi sel endotel ini akan diikuti dengan perubahan2 fungsi dan penebalan tunica intima, disertai dengan akumulasi sel-sel darah putih, sel-sel otot polos pembuluh darah dan fibroblast serta endapan matrix.

Faktor Risiko Kardiovaskular dan Disfungsi Endotel

Hiperkolesterolemi

Hiperkolesterolemia tanpa disertai perubahan2 pembuluh darah aterosklerotik, dapat menghambat relaksasi otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menekan proses aterosklerosis. Low density lipoprotein (LDL) merupakan penentu (determinan) utama terhadap aterosklerosis.

Gambar 5. Disifungsi endotel pada hiperlipidemia dan aterosklerosis. Kotributor utama adalah oxidized low-density lipoprotein (oxLDL), yang melalui aktivasi reseptor2 scavenger, mengganggu aktivitas jalur L-arginin-NO.

L-arginine eksogen dapat memperbaiki gangguan relaksasi pembuluh darah akibat pengaruh oxidized LDL. Komponen aktif dari LDL berupa lysolecithine yang mempunyai efek menyerupai efek LDL. Percobaan in vitro, menunjukkan bahwa didalam arteri koroner babi yang mengalami hiperkolesterolemi terjadi gangguan relaksasi pembuluh darah akibat pengaruh serotonin dan mengakibatkan aggregasi platelet dan thrombin. Disfungsi endotel dapat terjadi lebih luas pada stadium lanjut aterosklerosis. Percobaan pada aorta kelinci yang mengalami hiperkolesterolemi menunjukkan bahwa produksi NO secara keseluruhan tidak mengalami penurunan, namun mengalami inaktivasi akibat pengaruh radikal superoksida yang terbentuk didalam endotel.

Temuan yang sama juga terjadi pada kelinci yang mengalami aterosklerosis berat. Dalam keadaan hiperkolesterolemia dan aterosklerosis, secara biologis Nitrat Oksida yang aktif mengalami penurunan, sebaliknya endothelin mengalami aktivasi. Pada keadaan hiperlipidemi dan aterosklerosis, produksi endotelin oleh sel2 endotel mengalami peningkatan, sementara ekspresi reseptor2 endothelin mengalami down regulasi. Pemicu terjadinya peningkatan produksi endothelin adalah LDL yang meningkatkan ekspresi gen endothelin . Sel-sel otot polos pembuluh darah, yang mengalami migrasi kedalam tunica intima selama proses aterosklerotik, juga memproduksi endothelin. Didalam biakan sel2 otot polos pembuluh darah, endothelin dapat dilepaskan oleh faktor2 pertumbuhan seperti platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor b1 (TGF-b1) atau oleh vasokonstriktor seperti arginine vasopressin. Disamping itu, berbagai mediator yang terlibat dalam proses aterosklerosis juga merangsang produksi endothelin. Hal ini dapat menerangkan mengapa kadar endothelin plasma meningkat dan berkorelasi positif dengan terbentuknya lesi aterosklerotik.

Hipertensi

Disfungsi endotel yang terjadi pada hipertensi dapat menyebabkan peningkatan tahanan perifer didalam arteri2 kecil atau menimbulkan penyulit pada arteri2 sedang dan besar. Pada kebanyakan model hipertensi, tekanan darah yang tinggi disertai oleh hambatan relaksasi otot polos pembuluh darah. Disfungsi endotel lebih mencolok pada beberapa pembuluh darah dan terjadi apabila tekanan darah meningkat. Jadi disfungsi endotel lebih merupakan akibat daripada sebagai penyebab hipertensi. Pada pasien2 hipertensi, asetilkholin menyebabkan vasokonstriksi paradoks dari arteri koroner epikardial. Mekanisme disfungsi endotel berbeda-beda pada berbagai model hipertensi. Pada hipertensi spontan dari model tikus yang mengalami hipertensi genetik, aktifitas enzim NO synthase mengalami peningkatan diduga disebabkan karena meningkatnya inaktivasi NO oleh anion2 superoksida. Disamping itu, endotel dari tikus yang mengalami hipertensi spontan memproduksi sejumlah prostaglandin H2, yang akan mempengaruhi efek NO pada otot polos pembuluh darah dan platelet.

Gambar 6. Fungsi endotel dan hipertensi.

Sebaliknya, salt-induced hypertension disertai dengan gangguan bermakna dari aktifitas endothelial NO synthase. Kadar endothelin plasma masih dalam batas normal pada kebanyakan pasien dengan hipertensi kecuali bila ada kegagalan ginjal atau atherosclerosis. Meningkatnya produksi endothelin lokal dapat saja terjadi karena kebanyakan peptida ini dilepaskan secara abluminal, namun peningkatan kadar endothelin plasma tidak sepenuhnya merefleksi kadar endothelin lokal. Produksi endothelin pembuluh darah mengalami penurunan pada tikus yang mengalami hipertensi secara spontan, namun mengalami peningkatan pada tikus Wistar-Kyoto yang mengalami hipertensi akibat diinduksi oleh angiotensin II. Pada model terakhir, aktifitas fungsional ECE juga mengalami peningkatan.

Proses menua :

Proses menua merupakan proses fisiologik yang disertai dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, bahkan walaupun tanpa faktor2 risiko kardiovaskular yang jelas. Hal ini diduga berhubungan dengan perubahan2 selular sebagai respons terhadap peningkatan stres oksidatif atau faktor2 lain seperti gangguan pelepasan mediator2 vasoaktif. Dalam berbagai studi, relaksasi otot polos pembuluh darah mengalami penurunan sesuai dengan bertambahnya usia. Pada manusia, peningkatan aliran darah koroner yang diinduksi melalui infus asetilkholin berkurang dengan bertambahnya usia. Studi2 terbaru menunjukkan bahwa penurunan relaksasi endotel diduga berhubungan dengan penurunan pelebasan NO dan ekspresi gen endothelial NO synthase.

Walaupun kadar endothelin plasma meningkat dengan pertambahan umur, namun respons terhadap endothelin mengalami penurunan, diduga karena terjadinya down regulasi dari reseptor2 pada beberapa pembuluh darah. Proses menua juga mempengaruhi aktivitas fungsional ECE, yang dapat meningkat pada beberapa arteri.

Diabetes Melitus :

Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien2 DM dapat menyebabkan disfungsi endotel. Mekanisme yang mendasarinya antara lain meningkatnya sintesis endothelin dan atau gangguan jalur L-arginine-NO. Studi terakhir menunjukkan bahwa in vitro peningkatan kadar glukosa darah akan meningkatkan ekspresi NO synthase dan produksi anion superoksida. Gangguan fungsi vaskular akibat peningkatan kadar glukosa in vivo diduga dimediasi oleh vascular endothelial growth factor (VEGF) melalui jalur NO synthase.

Defisiensi estrogen :

Estrogen merupakan modulator fungsi vaskular yang penting. Terapi suli hormonal akan disertai penurunan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada wanita2 post menopause. In vitro dan in vivo, estrogen memodulasi aktifitas NO synthase dan pembentukan Nitrat Oksida. Defisiensi estrogen dapat disertai dengan disfungsi endotel dan peningkatan kadar endothelin didalam sirkulasi darah. In vitro dan in vivo endothelin dapat dihambat oleh estrogen.

Merokok

Merokok akan mempengaruhi aktifitas NO secara langsung maupun tidak langsung. Asap rokok akan menurunkan produksi NO melalui penurunan kadar BH4. Menurunnya bioavailibilitas BH4 akan menyebabkan uncoupling dari eNOS. Keadaan ini menyebabkan peningkatan pembentukan radikal bebas peroksinitrit yang selanjutnya akan menekan aktifitas eNOS. Disamping itu, merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya aterosklerosis, karena dapat meningkatkan kadar trigliserida dan LDL dan menurunkan kadar HDL. Asap rokok juga akan menginduksi aktivasi platelet dan ekspresi molekul-molekul adhesi sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya trombosis. Merokok juga dapat meningkatkan kadar homosistein, yang mempunyai efek toksik langsung terhadap endotel pembuluh darah.

Simpulan

Keutuhan endotel sangat penting dalam mempertahankan kelancaran aliran darah, karena endotel melepaskan faktor2 humoral yang dapat mengendalikan relaksasi dan kontraksi, trombogenesis dan fibrinolisis serta aktivasi dan inhibisi platelet. Jadi, endotel berperan penting dalam mengendalikan tekanan darah, kelancaran aliran darah dan keutuhan pembuluh darah. Gangguan fungsi endotel dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular seperti aterosklerosis, hipertensi dan payah jantung sehingga dapat menimbulkan hipoperfusi, sumbatan pembuluh darah dan kerusakan organ.

Daftar Pustaka

  1. Luscher TF, Barton M. Biology of the Endothelium. Clin Cardiol 1997;20 (S):3-10.
  2. Hermann J, Lerman A. The endothelium: Dysfunction and beyond J.Nucl Cardiol 2001;8:197-206
  3. Kitamoto S,Egashira K. Endothelial Dysfunction and Coronary Atherosclerosis.Current Drug Targets-Cardiovasc & Haematological Disorders,2004,Vol 4,No.1,13-22.
  4. Escandon JC, Cipolla M. Diabetes and Endothelial Dysfunction: A Clinical Perspective, Endocrine Reviews,2001; 22: 36–52.